Meneladani Adab Majelis Para Ulama Terdahulu
Meneladani Adab Majelis Para Ulama Terdahulu adalah bagian dari ceramah agama dan kajian Islam ilmiah dengan pembahasan Kitab Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim fi Adabil ‘Alim wal Muta’allim. Pembahasan ini disampaikan oleh Ustadz Dr. Emha Hasan Ayatullah pada Sabtu, 27 Rabiul Awwal 1447 H / 20 September 2025 M.
Kajian Islam Tentang Meneladani Adab Majelis Para Ulama Terdahulu
Ibnu Jamaah Rahimahullah memberi contoh bagaimana seorang thalibul ilm bersikap di majelis. Hal ini barangkali jarang dibahas juga di majelis, sehingga kita mungkin akan membayangkan bagaimana majelisnya para ulama dulu.
Zaman sekarang lebih susah karena gangguan-gangguan lebih banyak. Dulu, ketika tidak ada fasilitas, bahkan suara guru saat menyampaikan materi harus dibantu oleh mubaligh (penyampai). Tidak ada mikrofon. Mereka betul-betul datang untuk belajar dengan serba keterbatasan, tetapi hal itu tidak menghalangi mereka untuk belajar.
Majelis mereka sunyi dan khusyuk sekali. Bukan karena suara tidak didengar, akan tetapi, seperti yang pernah disampaikan, Imam Malik Rahimahullah menyebutkan:
“Majelisnya para ulama selalu diliputi dengan kehormatan, kewibawaan, dan kekhusyukan.”
Ini bukan karena gurunya ingin dihormati, bukan karena majelisnya besar, atau tempatnya mulia, dan bukan pula karena yang menyampaikan viral. Akan tetapi, karena mereka sadar ini majelis ibadah yang dihadiri oleh malaikat, maka tidak pantas ada orang sembrono. Yang paling rugi adalah dia sendiri ketika menampilkan sikap yang tidak bijaksana.
Pada pertemuan sebelumnya, telah dibahas ketika seorang thalibul ilm menghadiri majelis khususnya seorang Syaikh. Kalau majelis umum, rata-rata para ulama lebih menganggap santai, alias mereka tidak terlalu ketat. Siapapun boleh hadir, kemudian banyak yang hadir tanpa mencatat. Ini majelis umum. Tetapi majelis khusus, memang ada para ulama memiliki beberapa majelis yang lebih daripada orang lain.
Ketika seorang thalibul ilm masuk ke majelis khusus Syaikhnya, sedangkan Syaikh ini sedang berbicara dengan murid-murid yang lain, maka dia sepantasnya minta izin. Minta izin dengan salam dan suara yang lirih, kecuali kalau tidak didengar. Kemudian dia ketuk dengan ujung-ujung kuku. Bahkan, hal itu telah disebutkan bahwa ini ada sikap berlebihan, dan yang seperti ini tidak mungkin dilakukan kecuali kalau dindingnya kaca atau triplek, yang semacamnya bisa kedengaran kalau diketuk dengan ujung jari.
Kalau tidak, maka menggunakan halaqah (bulatan yang ada di pintu). Benda ini kalau sekarang menjadi simbol masa lalu. Pintu yang lama dibuat seperti ada gantungan bundarnya. Itu jarang. Sekarang itu menjadi hiasan. Kalau dulu untuk seperti itu. Sampai para ulama mengatakan, kalaupun perlu menggunakan itu karena tidak didengar, silakan.
Tapi kalau dia datang, Syaikh ini sudah melihat tapi ternyata tidak menoleh—Syaikh sudah tahu kehadiran ini—ternyata Syaikh terus melanjutkan pelajaran, maka adabnya jangan masuk. Berarti Syaikh tidak menghendaki dia masuk. Bisa jadi majelis itu lebih khusus, sehingga tidak pantas masuk atau mungkin karena terlambat.
Kalau seandainya dirasa Syaikh ini belum merasakan atau menyadari kehadiran kita, maka boleh dengan mengeraskan suara atau mengetuk dengan yang lebih keras. Tapi pun tidak lebih dari tiga kali. Karena izin itu tetap cuman tiga kali.
Kalau diizinkan masuk, maka yang diharapkan masuk pertama adalah yang lebih tua, menyalami gurunya dan tidak membuat keributan. Kadang ada orang datang belakangan di majelis khusus, bukannya sudah membuat orang lain pecah perhatian, masih tanya-tanya kabar, bahkan salaman disalami semua. Ini sudah telat datangnya. Pengajian terhenti gara-gara kehadiran dia. Dia masih salaman semua. Habis itu dia tanya kabar kesehatan. Dia sudah telat dan sudah bikin prahara di pengajian. Ini ternyata disampaikan oleh Ibnu Jamaah rahimahullah. Beliau wafat 733 H, berarti di abad ke-8.
Beliau membahas ini detail dan ini akan dilihat lagi bagaimana contoh seorang beradab dalam majelisnya. Beliau menyebutkan pada poin yang masih kelanjutan kemarin.
Kalau dia masuk ke dalam majelis Syaikh itu dan memang sudah ada beberapa murid, dan ternyata beliau sedang menyampaikan pelajaran, kok dia datang, jadi diam. Syaikh tadi sudah menyampaikan pengajian, gara-gara dia hadir Syaikh menghentikan pelajarannya. Ini sebenarnya isyarat, berarti ada yang terganggu dengan kehadirannya. Pernah disampaikan, ada orang tidak sadar begitu, di majelis khusus pengajian yang sedang berlangsung dia masuk, pengajian terhenti. Kalaupun dia tidak menghentikan, orang dengan secara biasa sudah akan terpecah perhatiannya. Menoleh semua, siapa yang hadir.
Kalau masjid besar seperti ini, alhamdulillah ada orang masuk di pojok sana tidak ketahuan. Tapi coba bayangkan, pintunya dekat. Satu orang terlambat atau setengah orang terlambat, itu semua mata di masjid ke situ, bukan di sini lagi sekarang. Begitu.
Maka ketika Syaikh sedang menyampaikan pengajian lalu ada orang yang masuk, ternyata diam, atau Syaikhnya tidak ada murid dan tidak sedang pengajian tapi sedang shalat. Dan kelihatan memang sebagian ulama masyaAllah shalatnya panjang.
Ini kalau ada seorang Syaikh shalat sendirian, atau dia sedang dzikir kepada Allah, atau dia sedang menulis, atau dia sedang membaca, gara-gara ada yang masuk, maka semua rutinitas dan aktivitas itu berhenti. Nah, ini berarti beliau terganggu.
Atau beliau terdiam dan tidak segera mengajak bicara. Saat ada yang masuk, beliau tidak banyak omong. Berbeda kalau memang orangnya, karena kehadiran kita malah kelihatan senang. Karena memang sebagian orang seperti begitu. Sebagian masyaikh, Subhanallah, menelepon mahasiswa, “Ta’al,” dikira ada urusan penting. Ternyata hanya diminta menemani untuk minum kopi dan teh saja. Ada model-model seperti ini, mungkin ‘Syaikh Kopi’ dan ‘Syaikh Teh’ itu ada zaman sekarang. Dan memang benar ada beberapa orang seperti begitu. Ditelepon dikira ada urusan penting, ternyata datang ke rumahnya cuma untuk menemani minum kopi saja. Ngobrol ke sana kemari tidak ada manfaatnya. Ini sepertinya bukan Syaikh, ini mungkin dosen biasa.
Jadi maksudnya, kalau ternyata Syaikh ini diam dan bicaranya sedikit, kelihatan tidak tertarik, hendaklah dia tahu diri. Hendaknya dia mengucapkan salam kemudian pamit. Kecuali kalau gurunya minta dia untuk tinggal sebentar. Tapi kalau duduk di situ, jangan lama-lama juga. Karena bisa jadi guru ketika mengatakan, “Eh, duduk dulu, mau ke mana? Jangan keburu-buru,” seringkali hanya basa-basi atau mungkin tidak enak. “Ini sudah datang, masa saya tidak sambut.” Padahal dia sedang dalam kesibukan. Maka seorang murid sudah semestinya tahu diri. Meskipun dipersilakan duduk, dia tidak lama-lama izin berangkat.
Ketika orang menemui gurunya di majelis atau dia hadir di pengajiannya, hendaklah hatinya sudah kosong. Artinya, dia siap untuk menerima nasihat, pelajaran dari semua kesibukan-kesibukan, dan pikirannya juga sama. Jangan hadir ketika mengantuk, atau marah, atau lapar sekali. Orang kalau lapar sekali itu masyaallah bikin lemas, atau dalam keadaan haus. Hal ini agar hatinya bisa menerima yang dipelajari nanti dan bisa menerima yang dia dengar.
Dan apabila dia hadir di majelis Syaikh, ternyata gurunya belum datang, hendaklah dia duduk saja menunggu Syaikhnya, agar nanti ketika Syaikhnya datang segera mulai pelajaran, dia tidak ketinggalan. Dan memang hukum asalnya, adab dalam belajar itu murid datang duluan baru guru. Nanti bubarnya baru guru yang duluan. Ini adabnya seperti shalat jemaah. Shalat jemaah itu adabnya, dan yang paling bagus adalah makmumnya datang duluan, imam datang belakangan, seperti Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Beliau keluar dari rumah itu melihat dulu, “Oh, ternyata para sahabat sudah siap,” shalat Isya dimulai. Kalau ternyata para sahabat dilihat masih ada yang belum hadir, beliau mengakhirkan shalat Isya.
Orang yang sering terlambat shalat sering dicela. Meskipun tidak berdosa selama memang dia tidak meremehkan. Akan tetapi para ulama mengatakan itu dicela. Demikian pula orang yang belajar. Dikatakan, karena pelajaran itu kalau sudah mulai, rata-rata guru tidak akan menunggu murid, dan ini mestinya dipahami.
Jika ketinggalan kajian lima hadits atau satu paragraf, dia mungkin bisa mencari rekaman. Akan tetapi, sebenarnya rekaman itu hanya yang bisa didengar. Keberkahan didapatkan seorang thalibul ilm dengan talaqi, jika terlambat ke majelis, maka itu tidak dia mendapatkan itu.
Para malaikat datang juga awal, apalagi shalat Jumat. Mereka di pintu-pintu melihat siapa yang datang. Ketika imam sudah keluar dan akan mulai khutbah, mereka tutup semua catatannya. Maka mendengar rekaman kajian tidak sama dengan hadir.
Dan ini seperti dalam hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Sunan Abi Dawud dengan sanad yang shahih:
“Kalian sekarang mendengar dariku, dan nanti akan ada orang mendengar dari kalian, dan murid-muridnya lagi akan mendengar dari murid kalian.” (HR. Abu Dawud).
Hukum asal belajar adalah talaqi. Memang betul bisa cari bukunya, apalagi kalau sudah dicetak. Akan tetapi, apakah sama dengan orang yang hadir di awal?
Bagaimana pembahasan lengkapnya? Mari download mp3 kajian dan simak penjelasan yang penuh manfaat ini..
Download MP3 Kajian
Podcast: Play in new window | Download
Mari turut membagikan link download kajian “Meneladani Adab Majelis Para Ulama Terdahulu” yang penuh manfaat ini ke jejaring sosial Facebook, Twitter atau yang lainnya. Semoga bisa menjadi pembuka pintu kebaikan bagi kita semua. Jazakumullahu Khairan.
Telegram: t.me/rodjaofficial
Facebook: facebook.com/radiorodja
Twitter: twitter.com/radiorodja
Instagram: instagram.com/radiorodja
Website: www.radiorodja.com
Dapatkan informasi dari Rodja TV, melalui :
Facebook: facebook.com/rodjatvofficial
Twitter: twitter.com/rodjatv
Instagram: instagram.com/rodjatv
Website: www.rodja.tv
Artikel asli: https://www.radiorodja.com/55696-meneladani-adab-majelis-para-ulama-terdahulu/